Selasa, 10 Desember 2013

Sepenggal Sejarah GKJW

Adalah Johanes Emde, yang lahir di tengah keluarga Kristen dari gereja yang beraliran pietisme (yang mementingkan kesalehan hidup). Sebagai petualang, pada 1811 ia kemudian tinggal di Surabaya dan menjadi seorang tukang arloji. Istrinya, Amarentia Manuel adalah seorang putri priyayi Jawa*.
Pada waktu Pdt. Bruckner -pendeta generasi pertama utusan NZG, badan pekabaran Injil Belanda ke tanah Jawa- menerjemahkan Kitab Suci dalam bahasa Jawa, ia mendapatkan salinannya.

Dalam pandangan Emde dan istrinya, buku tersebut lebih baik disebarluaskan kepada orang-orang Jawa. Lewat perantaraan anak gadisnya (nama?), buku ini diterima penjaja sarung keris (mranggi) yang kemudian dikenal namanya Pak Midah, seorang Madura dari kampung Pegirikan, Surabaya. Peristiwa yang terjadi di pasar hewan pada 1826 ini berlangsung begitu saja, tidak ada kelanjutan apa-apa.

Karena tidak bisa membaca, buku (lebih tepatnya traktat) tersebut diberikan kepada Pak Dasimah, seorang Jawa yang tinggal di daerah Wiyung. Sebagai seorang modin desa, ia lantas berusaha mengerti apa isi dari traktat itu. Mereka merasa heran dan tertarik dengan tulisan pembukanya. Terlebih lagi dengan kata “Putra Allah” dalam sebuah kalimat Purwane Evangelion Saking Yesus Kristus Putrane Allah (“Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah”).
Ternyata yang sedang mereka baca adalah terjemahan Injil Markus. Meski tidak mengerti, mereka terus berusaha menggumuli ‘buku aneh’ tersebut. Apakah mungkin Allah yang Esa memiliki anak? Pengertian yang sangat bertolak belakang dengan kepercayaan yang dimilikinya. Elmu baru apakah ini?
***
Pada saat hampir bersamaan, Coenraad Laurens Coolen, kelahiran Semarang tapi peranakan Rusia-Jawa menjadi seorang sinder blandong (pengawas kehutanan Belanda). Meski ia dididik secara keras agama Kristen, tapi berkat pergaulan yang erat dengan penduduk desa, ia sangat paham dengan ngelmu Jawa.
Pada 1827 Coolen berhenti dari jabatan sinder blandong dan meminta izin membuka hutan di Ngoro (sebelah selatan Jombang). Beberapa waktu lamanya, tempat ini menjadi sangat ramai.Coolen menjadi seorang pemimpin baru. Pada waktu inilah ia juga menerjemahkan Pengakuan Iman Rasuli, 10 Hukum, dan Doa Bapa Kami ke alam bahasa Jawa.
Sekitar tahun 1835 (mungkin 1833) berlangsung upacara perkawinan di desa Wonokuli, dekat Wiyung. Perayaan ini dilangsungkan di rumah Kyai Kunthi, seorang yang sering pergi ke Ngoro dan tinggal beberapa bulan lamanya.
Dalam acara ini, hadir juga Pak Sadimah, salah seorang sahabat Pak Dasimah yang sering mengikuti kumpulan di Wiyung untuk membicarakan ngelmu baru Injil Markus. Ia mendengar kesamaan antara doa yang diucapkan oleh Kyai Kunthi dengan buku yang dipelajarinya.
Saat itu Kyai Kunti tengah melafalkan Pengakuan Iman Rasuli gubahan Coolen. Selama mendengarkan doa itu, Pak Sadimah mengerti bahwa dalam doa-doa itu disebut nama Yesus Kristus, Anak Allah, sama dengan yang mereka pelajari selama ini.
Kejadian ini lalu diceritakan kepada Pak Dasimah. Bukan main senangnya ia. Lalu, bersama kawan-kawannya mereka berangkat ke Ngoro untuk mendengar langsung pengajaran dari Coolen. Oleh Kyai Kunthi mereka diperkenalkan kepada Ditotruno, seorang pembantu Coolen yang mengurusi Desa Ngoro, sebelum akhirnya mereka bertemu langsung dengan Coolen sendiri.
Coolen tentu saja heran melihat kegigihan orang-orang Jawa asal Wiyung ini, karena mereka harus berjalan kaki 25 jam lamanya. Sejak itu, rombongan dari Wiyung ini meguru (berguru) kepada Coolen. Namun mengingat biayanya banyak, belum lagi jalan yang dilalui berat dan sukar, maka selama 5 tahun itu, sekali dalam setahun mereka berkunjung ke Ngoro. Beberapa bulan lamanya mereka mendapat berbagai pengajaran tentang agama Kristen. Sekembalinya mereka ke Wiyung, mereka mengadakan kebaktian setiap hari Minggu, seperti pengajaran yang diberikan Coolen.
***
Pada tahun 1840-1841, sebuah peristiwa yang tidak bisa dianggap kebetulan terjadi lagi. Anak Pak Dasimah yang bekerja sebagai pemotong rumput menawarkan rumputnya ke rumah Emde. Oleh istri Emde, ia ditanya tentang berbagai hal hingga membuatnya yakin bahwa anak Pak Dasimah ini memiliki pengetahuan yang lebih tentang agama Kristen. Oleh karena itu Emde dan istrinya berniat mengundang orang tuanya.
Akhirnya terjadi jua pertemuan itu. Sikap baik ditunjukkan oleh keluarga Emde. Selanjutnya, Emde juga mengunjungi orang-orang Kristen di Wiyung. Hal ini sangat mengherankan Pak Dasimah dan kawan-kawannya karena cara suami-istri ini berbeda dengan Coolen. Selanjutnya mereka menerima berbagai ajaran tentang agama Kristen. Salah satunya adalah soal baptisan, bahan pengajaran yang tidak mereka terima saat berada di Ngoro.
Dengan penuh keyakinan, orang-orang Wiyung ini menghadap Emde agar diperkenankan mengikuti sakramen Baptis, karena mereka sudah percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, sudah merasa sebagai orang Kristen. Akhirnya mereka diperkenalkan dengan AW Meyer, pendeta yang menggembalakan jemaat Belanda di kota Surabaya.
Akhirnya, pada 12 Desember 1843, sebanyak 35 orang (18 laki-laki, 12 wanita dan 5 orang anak) menerima sakramen pembabtisan. Tanggal inilah yang pada tahun 1993 lalu diperingati sebagai hari I baptisan cikal bakal GKJW.

diambil dari http://www.gkjw.web.id/sejarah-gkjw-bermula-dari-pasar-hewan

Rabu, 15 Mei 2013

Why Jesus Die...?


When we ask a question such as this, we must be careful that we are not calling God into question. To wonder why God couldn’t find “another way” to do something is to imply that the way He has chosen is not the best course of action and that some other method would be better. Usually what we perceive as a “better” method is one that seems right to us. Before we can come to grips with anything God does, we have to first acknowledge that His ways are not our ways, His thoughts are not our thoughts—they are higher than ours (Isaiah 55:8). In addition, Deuteronomy 32:4 reminds us that “He is the Rock, his works are perfect, and all his ways are just. A faithful God who does no wrong, upright and just is he.” Therefore, the plan of salvation He has designed is perfect, just, and upright, and no one could have come up with anything better. The Scripture says, “For I delivered to you as of first importance what I also received: that Christ died for our sins in accordance with the Scriptures...